Istilah
“sakinah” digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan kenyamanan keluarga. Istilah
ini memiliki akar kata yang sama dengan “sakanun” yang berarti tempat tinggal.
Jadi, mudah dipahami memang jika istilah itu digunakan Al-Qur’an untuk menyebut
tempat berlabuhnya setiap anggota keluarga dalam suasana yang nyaman dan
tenang, sehingga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya cinta kasih (mawaddah wa
rahmah) di antara sesama anggotanya.
Di
Al-Qur’an ada ayat yang memuat kata “sakinah”.
Pertama,
surah Al-Baqarah ayat 248.
Dan
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja,
ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu
dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa
oleh Malaikat.”
Tabut
adalah peti tempat menyimpan Taurat yang membawa ketenangan bagi mereka. ayat
di atas menyebut, di dalam peti tersebut terdapat ketenangan –yang dalam bahasa
Al-Qur’an disebut sakinah. Jadi, menurut ayat itu sakinah adalah tempat yang
tenang, nyaman, aman, kondusif bagi penyimpanan sesuatu, termasuk tempat
tinggal yang tenang bagi manusia.
Kedua,
al-sakinah disebut dalam surah Al-Fath ayat 4.
Dia-lah
yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan
kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.
Di
ayat itu, kata sakinah diterjemahkan sebagai ketenangan yang sengaja Allah
turunkan ke dalam hati orang-orang mukmin. Ketenangan ini merupakan suasana
psikologis yang melekat pada setiap individu yang mampu melakukannya.
Ketenangan adalah suasana batin yang hanya bisa diciptakan sendiri. Tidak ada
jaminan seseorang dapat menciptakan suasana tenang bagi orang lain.
Jadi,
kata “sakinah” yang digunakan untuk menyifati kata “keluarga” merupakan tata
nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam membangun tatanan
keluarga yang dapat memberikan kenyamanan dunia sekaligus memberikan jaminan
keselamatan akhirat. Rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang tenang bagi
setiap anggota keluarga. Keluarga menjadi tempat kembali ke mana pun anggotanya
pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh percaya diri ketika
berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam masyarakat.
SIAPA
PUN yang telah mengikatkan diri dalam tali pernikahan tentunya menginginkan
atmosfer rumah tangga yang harmonis. Maka yang harus dipikirkan pertama kali
adalah bagaimana melakukan harmonisasi hubungan suami-istri. Menjaga
keharmonisan pasangan suami-istri (pasutri) tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan, tapi membutuhkan usaha dan pengorbanan.
Berikut
ini adalah sepuluh tips mewujudkan keharmonisan pasutri, sebagaimana ditulis
Wafaa‘ Muhammad, dalam kitabnya Kaifa Tushbihina Zaujah Rumansiyyah:
1.
Berupaya Saling Mengenal Dan Memahami.
Perbedaan
lingkungan dan kondisi tempat suami atau istri tumbuh sangat berpengaruh dalam
pembentukan ragam selera, perilaku, dan sikap yang berlainan pada setiap pihak
dari yang lain. Hal itu merupakan kewajiban setiap pasutri untuk memahami
keadaan ini dan berusaha mengetahui serta mengenal pihak lain yang menjadi
pasangan hidupnya. Mereka juga harus mengetahui semua hal yang berkaitan dengan
situasi kehidupan yang mempengaruhi, sehingga dapat maju ke depan dan
mewujudkan keharmonisan.
2. Perasaan
Timbal-Balik
Suami
dan istri adalah partner dalam satu kehidupan yang direkatkan dalam tali
pernikahan; satu ikatan suci yang mempertemukan keduanya. Tak pelak lagi,
keduanya harus berbagi suka-duka; membagi kesedihan dan kegembiraan bersama.
Keduanya saling berkelindan untuk menyongsong satu cita-cita luhur yaitu
mewujudkan tatanan kehidupan berdasarkan aturan Allah dan Rasul-Nya. Untuk
memupuk kasih sayang di masing-masing pihak, suami membutuhkan cinta istri, dan
istri pun membutuhkan cinta suami.
…Suami dan istri harus berbagi suka-duka,
membagi kesedihan dan kegembiraan bersama…
3. Setiap Pihak Harus
Hormat
Ketika
suami atau istri memasuki rumahnya, maka dia layak mendapatkan penghormatan dan
apresiasi dari pasangannya. Hal itu bertujuan untuk menjaga harkat dan
mengangkat prestise pasutri, sehingga masing-masing merasa nyaman untuk
membangun rumah tangga harmonis. Dalam hal ini, sudah menjadi kewajiban pasutri
untuk mencari poin-poin positif yang dimiliki masing-masing untuk digunakan
sebagai penopang sikap saling menghormati.
4. Berusaha
Menyenangkan Pasangannya
Dalam
kehidupan keluarga, bahkan dalam kehidupan sosial secara general, jika
seseorang berusaha mengedepankan dan mengutamakan orang lain dari dirinya
sendiri, maka berarti dia telah menanam benih-benih cinta dan kedekatan kepada
semua orang di sekelilingnya.
Dengan
demikian, setiap pasutri disarankan untuk senantiasa menyenangkan pasangannya,
dan mendahulukan serta mengutamakannya dari dirinya sendiri, demi memperkukuh
ikatan cinta kasih di antara keduanya. Pasalnya, ketika suami melihat istri
membaktikan diri untuk menyenangkan dirinya, tentunya dia akan melakukan
sesuatu yang bisa membuat senang dan gembira hati istri. Hal itu dilakukannya
untuk membalas kebaikan istrinya, atau setidaknya sebagai pengakuan atas
kebaikan tersebut.
5. Mengatasi Persoalan
Bersama
Pernikahan
merupakan bentuk relasi partnership dan partisipasi. Partnership yang berdiri
di atas landasan kesamaan tujuan, cita-cita, sikap, intuisi dan perasaan, serta
kolaborasi dan solidaritas dalam memecahkan setiap persoalan. Setiap masalah
yang timbul dalam kehidupan suami-istri, maka masalah itu dilihat sebagai suatu
kecemasan kolektif.
…Setiap masalah yang timbul dalam kehidupan
suami-istri, harus dipandang sebagai suatu kecemasan kolektif…
Paradigma
demikian memicu suami agar berusaha bekerja keras dalam rangka memberikan
kehidupan mulia bagi istri dan anak-anaknya. Pun demikian, istri akan berusaha
menjalankan urusan rumah tangga sesuai prosedur yang disepakati bersama. Upaya
yang dilakukan oleh suami dan istri tersebut merupakan solusi untuk memecahkan
masalah bersama. Pun demikian, baik suami maupun istri tidak perlu
menyembunyikan problemnya, bahkan diperlukan kejujuran dan transparansi demi
menumbuhkan benih-benih kepercayaan dan saling pengertian, sehingga mudah
menemukan solusi. Bisa jadi, permasalahan memiliki dampak positif untuk
meneguhkan ikatan suami-istri.
6. Sikap Qana’ah
Di
antara tanda keharmonisan cinta pasutri adalah sikap merasa puas dengan yang
ada (qana’ah); merasa puas dengan prasarana hidup yang tersedia. Kelanjutan
sikap manja, kebiasan hidup serba ada, boros dan berfoya-foya pada masa kecil
atau remaja termasuk salah satu faktor yang memicu pertikaian pasutri. Sikap
demikian berlawanan dengan kedewasaan yang menuntut pandangan realistis tentang
kehidupan. Hal-hal picisan dan glamor yang digembar-gemborkan media publikasi
sejatinya tidak akan menciptakan kebahagiaan. Karena kebahagiaan sejati
memancar dari hati dan jiwa terdalam, bukan bertolak dari aspek-aspek materi
yang justru memicu kesenjangan dan konflik pasutri.
7. Sikap Toleransi
Kedua Belah Pihak
Sungguh sangat tidak logis jika setiap pihak
mengharapkan perilaku ideal permanen dari pasangannya dalam hubungan rumah
tangga, karena menurut tabiatnya, manusia kadang salah dan benar. Suami atau
istri kadang lupa dan khilaf sehingga kerap mengulangi kesalahan serta
kekeliruannya. Dia mungkin melakukan kesalahan karena ketidaktahuan, dan
mengulanginya tanpa disadarinya. Jika setiap pihak berkeinginan untuk
menghukum, menghakimi, atau membalas dendam untuk setiap kesalahan yang
dilakukan pasangannya, maka berarti dia merusak fondasi keharmonisan rumah
tangga.
…Kesalahan tidak perlu diikuti dengan
tekanan, cacian, dan intimidasi, terutama jika kesalahan itu tidak berkaitan
dengan norma-norma keislaman…
Jika
kita mencela segala hal, maka kita tidak akan menemukan sesuatu yang tidak kita
cela. Melakukan kesalahan adalah hal lumrah yang hanya membutuhkan pelurusan,
pengarah, dan petunjuk, yang dibarengi dengan sikap penyesalan dan keinginan
untuk berubah lebih baik. Kesalahan tidak perlu diikuti dengan tekanan, cacian,
dan intimidasi, terutama jika kesalahan itu tidak berkaitan dengan norma-norma
keislaman. Yakinlah bahwa seseorang tidak akan kehabisan cara yang sesuai untuk
mengoreksi kesalahan dan penyimpangan pasangannya. Jalan terbaik dalam hal ini
adalah nasihat yang tenang dan membuat pasangannya merasa bahwa hal itu adalah
untuk kebaikan diri dan keluarganya.
8. Berterus-Terang
Sikap
terus terang, kejujuran, dan keberanian adalah kunci kebahagiaan kehidupan
rumah tangga yang tidak mungkin nihil dari kesalahan. Dalam artian, jika Anda
melakukan kesalahan, maka yang harus Anda lakukan adalah bergegas meminta maaf,
berani mengakuinya, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi di kemudian
hari. Sikap tersebut sama sekali tidak berarti menistakan status dan harga diri
Anda. Hal itu justru mendorong pihak lain untuk menghormati, mempercayai, dan
memaafkan Anda.
9. Kepedulian Dan
Solidaritas
Bagian
fragmen terindah kehidupan rumah tangga adalah kepedulian dan solidaritas yang
dilakoni suami atau istri dalam menghadapi kesulitan dengan kesabaran dan
perjuangan luar biasa. Tatkala istri berdiri di samping suaminya, maka suami
akan merasa kuat dan penuh percaya diri, begitu juga sebaliknya. Ketika istri
atau suami merasakan bahwa pasangannya merasa kuat dan percaya diri, maka dia
akan merasa jiwanya diliputi kedamaian dan ketenteraman. Sisi ini pada
kenyataannya merupakan esensi pernikahan dan integrasi batin di antara kedua
belah pihak.
10. Kearifan
Kearifan
satu sama lain –hingga pada situasi yang paling suram— membantu meletakkan
fondasi kukuh keharmonisan. Bisa jadi, dikarenakan sebuah kesalahan, suami atau
istri memiliki kemampuan hebat untuk mencelakai pasangannya, hanya saja
kearifan mencegahnya melakukan hal itu. Kearifan memperkokoh semangat
kesepahaman di antara keduanya. Atau salah satu pasutri mungkin merasa lebih
berhak dalam hal tertentu, namun setelah berpikir ulang tentang hal itu, dia
tidak lagi keukeuh mempertahankan pendapatnya yang bisa memicu friksi.
…masalah silih berganti menghampiri. Maka,
kearifan adalah benteng kokoh yang melindungi keluarga dari disharmonisasi…
Ketika
dia mundur dengan motif kearifan, maka dia berarti melenyapkan aroma konflik
dan perselisihan. Namun jika sikap mau menang sendiri dan superioritas negatif
menggantikan posisi kearifan, maka kedamaian dan kemapanan kehidupan rumah
tangga akan tercederai. Jika demikian, tak heran jika masalah silih berganti
menghampiri. Maka, kearifan adalah benteng kokoh yang melindungi keluarga dari
disharmonisasi.
Usaha
Ihtiar dan bertahan dalam mewujudkan keluarga sakinah juga tidak akan terwujud
jika tidak diiringi doa. Jangan lupa untuk selalu berdoa :
"Robbana
hablanaa min azwajinaa wadzurriyatinaa qurrota a'yunin waj'alnaa lilmuttaqiina
imaamaa.. "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kpd kami istri- istri kami &
keturunan kami sbg penyenang hati (kami), & jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yg bertakwa.."
Artikel yg bagus..
ReplyDelete